GITA YANG TERLUPAKAN
PetikPisang69 - Gita adalah mantan kekasihku beberapa tahun lampau. Ia menikah dengan pria lain tahun 1996, aku menyusul 2 tahun kemudian, saat itu Gita sudah mempunyai anak satu. Kami berpisah baik-baik, dan sesudahnya kami masih berhubungan. Aku juga kenal baik dengan suaminya.
Aku dan Gita sama-sama kerja di perusahaan konsultan. Sesudah menikah ia bertugas di salah satu proyek, sedangkan aku di head office, sehingga kami lama tidak ketemu. Cerita ini terjadi pada pertengahan tahun 2000, saat ia kembali bertugas di Head office menjadi sekretaris salah seorang expert kami dari Hongkong.
Aku sering berhubungan kerja dengannya. Semula kami bersama dalam tugas. Lama-lama berlanjut untuk hal-hal di luar kerjaan, hingga tidak terasa kebiasaan dulu kembali muncul. Misalnya makan siang. Seperti dulu waktu masih pacaran, sering ia ‘mencomot’ lauk dari piringku, atau sesuatu yang ia makan diberikan separuh ke piringku.Kebiasaanku menyiapkan sendok dan minuman untuknya, atau menghabiskan makanannya juga menjadi kegiatan rutin, seolah hal yang wajar saja dalam hubungan kami.
Untungnya teman-teman sekantor juga menganggapnya wajar. Sering juga kami ngobrol soal rumah tangga, suami(nya), istri(ku), dan anak-anak (kami). Tidak ada cerita jelek, semua baik-baik saja. Tapi di balik yang ‘baik-baik’ tersirat kerinduan (atau kecewaan?) tersembunyi.
Dalam suasana seperti itulah hubungan kami berlanjut dan menghasilkan kisah-kisah yang sebagian ku ceritakan di sini, khusus yang punya kesan mendalam untukku.
Pertama: Saung Ikan Mas
Hari itu bossnya Gita sedang ke tempat client. Si boss bawa mobil sendiri, maka seperti biasa Gita memanfaatkan mobil kantor yang menganggur buat jalan-jalan. Driver-nya cs kami, jadi ia mengajakku bergabung cari makan siang di luar. (“Kamu yang traktir yaa..” katanya).
Pukul 11.30 kami bertiga berangkat ke Cwie Mie Fatmawati. Baru sampai di Prapatan Pejaten (kantor kami di Buncit), si boss menelpon minta supaya driver-nya menyusul karena tidak enak badan. Maksudnya minta disupiri pulang. Driver kami turun sambil mengomel, minta uang taksi ke Gita terus menyusul bossnya di sekitar blok M. Gita menggantikan pegang kemudi (dulu, Gita yang mengajariku bawa mobil) dan melanjutkan perjalanan.
“Kalo dulu, sambil nyetir gini biasanya aku dipijitin..” Gita mulai membuka kenangan.
“Sekarang juga boleh..” kataku, sambil mengusap lututnya, biasanya aku pindah ke belakang, memijat leher dan pundaknya dari belakang, dan tentu saja berakhir di payudaranya.
“Jangaan ahh, kacanya terang..” kata Gita.
Usapan di lutut memang lebih aman dari pandangan mobil lain. Dari desahan ‘ahh’-nya kurasakan bahwa Gita menikmatinya.
“Kita ke saung aja yuk..!” lanjut Gita.
Saung adalah istilah kami berdua untuk sebuah restoran pemancingan di sekitar Ragunan. Aku tidak menjawab, hanya semakin meningkatkan sentuhan di lutut dan ke atas ‘sedikit’ sambil mata tetap waspada memantau kiri kanan takut dilongok pengendara motor. Gita dengan trampil meluncurkan mobil di sepanjang jalan dengan meminimalkan penggunaan kopling supaya paha kirinya lebih mudah terjangkau jari-jariku.
“Berapa tahun aku tidak nyentuh ini..” kataku saat jariku mulai nyelusuri pinggiran CD-nya.
Gita agak tergetar oleh sentuhanku itu, sambil mendesis ia mengoyangkan kakinya.
“Kamu bangun enggak Mas..?” katanya (ia memanggilku ‘Mas’).
“Liat aja,” jawabku.
Ia melirik dan terkikik melihat tonjolan yang mengeras di celanaku.
“Hihihi.. masih mempan juga..”
“Masih dong, remasanmu belum ada duanya..”
Restoran itu terletak di pinggir kolam, dihubungkan ke beberapa saung (gubuk dari bambu) di tengah kolam dengan jembatan kayu. Saung beratap rumbia ukuran 2,5 m x 2,5 m itu diberi pagar bambu rapat setinggi 60 cm. Bagian atasnya terbuka sehingga dapat dipantau dari jauh, tapi dilengkapi krey bambu yang jarang-jarang, dan dapat diturunkan ‘kalau perlu’, juga disediakan bantal duduk.
Tidak ada pengunjung lain. Kami meniti jembatan kayu, memilih saung yang paling jauh dari kasir, dan memesan makanan yang paling cepat saji. Tidak lupa kami minta krey diturunkan. Begitu pelayan pergi, aku segera menjatuhkan pantatku di sebelahnya. Ia menyandar ke tiang bambu di pojok, bersila di bantal dengan cuek. Aku meneruskan elusanku yang terhenti, menyusuri pahanya yang terbuka.
“Mana dong yang keras-keras tadi, aku pegang..” katanya tanpa mempedulikan jariku yang sudah terbenam di dalam roknya.
Aku merapatkan duduk agar terjangkau tangannya. Ia menekan-nekan celana di bagian kont0lku dengan keempat jarinya. Dengan hati-hati sabukku dibuka, lalu zipku diturunkan. Dari sela-sela baju dan singlet, dirogohnya kont0lku yang sudah mengeras lalu diusapnya lembut.
“Segini aja dulu, biar gampang ditutup,” katanya saat aku mau menurunkan celana panjang.
Rasa nikmat yang halus merambat seperti aliran setrum dari selangkanganku, menjalar ke kaki, badan terus ke otak. Kami duduk berdampingan, aku selonjor dengan kont0l mencuat keluar dari celana, sementara paha kiri Gita menopang di atas paha kananku. Tangan kirinya mengusap lembut batangku sementara sambil menikmati elusannya, tangan kananku melakukan eksplorasi ke permukaan memeknya yang terbungkus CD.
Percumbuan ringan itu terhenti ketika pelayan datang membawa pesanan. Aku menaikkan zipku kembali seraya merapatkan jaket.
“Sana kamu ke kamar mandi Mas, CD sama singletnya dikantongin aja. Sabuknya masukin tas,” ia berbisik memerintahku (Dari dulu aku suka ‘perintah-perintahnya’).
Ia membereskan makanan sementara aku ke kamar mandi, membukai semua sesuai instruksi dan mencuci batangku supaya dingin dan segar kembali.
Keluar kamar mandi, aku berpapasan dengan Gita menuju ke tempat yang sama sambil mengedipi aku. Sambil menunggu, membayangkan ulah Gita batangku yang baru didinginkan mengeras lagi. Aku tidak menyentuh makanan, hanya minum Aqua untuk mengurangi bau mulut. Gita datang langsung duduk di bantal lagi.
“Udah lega.. ganjelnya udah masuk sini semua.. Beha, CD..” Gita melemparkan tasnya.
Aku kembali merapat.
“Jangan deket-deket, kelihatan dari kasir,” ia mencegah.
Tangan kiriku beralih ke perutnya, pelan-pelan menggeser ke atas. Semua ‘daleman’ Gita sudah tersimpan dengan aman di dalam tas. Gita mengeluh saat tanganku menyentuh bulatan kenyal itu, menggeser posisi sehingga dapat mengawasi kasir di seberang, sekaligus memudahkan aku ‘bekerja’.
Ia kembali mendesah lirih saat kusentuh putingnya. Darahku bergejolak merasakan lembutnya buah dada Gita. Beda dengan dulu, sekarang lebih berisi karena menyusui. Aku tidak berani mencium bibir atau mendekapnya karena kepala kami kelihatan sayup dari restoran. Perlahan kubuka kancing blus dengan menyisakan satu kancing paling atas (Gita biasa begitu supaya cepat ‘memberesinya’) hingga aku dapat leluasa menciumi perutnya.
Buah dada Gita mengembang segar, putingnya yang menonjol sudah mulai mengeras, coklat dilingkari semburat merah jambu. Dengan lembut jariku mengelus puting itu. Kuremas tubuh Gita dengan penuh perasaan. Lidahku menjelajahi perutnya, membuat Gita mendesah-desah dengan mata setengah terpejam.
Bersembunyi di balik blus longgarnya, ciumanku beralih ke buah dada. Lidahku berputar-putar menyapu lingkaran merah di seputar puting, lalu diteruskan dengan mengulum ujungnya. Sementara itu tanganku menjelajahi gunung yang sebelahnya. Gita semakin merintih-rintih menikmati sentuhanku. Birahinya semakin menggelora. Sambil tetap menciumi puting susu, tangan kiriku pindah menelusuri paha Gita sambil tangan lainnya menyusup ke belakang, membuka kaitan roknya.
Sentuhan dan rabaanku akhirnya sampai ke pangkal pahanya yang tidak terbungkus apa apa. Usapanku pada bukit lembut yang ditumbuhi bulu halus membuat birahi Gita menggelegak, meluap ke seluruh nadi dan pori-pori. Ketika tanganku menyelusup ke celah kewanitaannya yang basah, Gita makin menggeliat tidak terkendali.
“Ahh.. Mass, ahh..” Gita merintih tidak karuan, sementara sekujur tubuhnya mulai dirangsang nikmat yang tidak tertahankan.
Dengan hati-hati rok Gita kusingkapkan, pahanya yang mulus sudah menganga menantikan sentuhan lebih jauh. Celah di pangkal paha Gita yang ditutupi rambut halus, merekah indah. Kepalaku menyusup ke dalam roknya yang tersingkap, Gita mengangkangkan pahanya lebar-lebar seraya menyodorkan pangkal pahanya, memudahkanku mencapai lembahnya. Jariku mengusap-usap celah itu yang mulai basah dan menebal, sementara lidahku menciumi pinggiran bulu-bulu kemaluannya.
Gita mengerang keenakan saat jari-jariku menggetar dan memilin kelentitnya.
“Akh.. Mas, gila..! Udah dong Mass..!”
Jari-jariku membasahi kelentit Gita dengan cairan yang merembes keluar dari celahnya. Setiap jariku mengorek lubang kemaluan untuk membasahi kelentit, Gita menggeliat kelojotan. Apalagi sambil membenamkan jari, aku memutar-mutarkannya sedikit.
Sambil meremas rambutku yang masih menciumi pubisnya, Gita mencari-cari zipku, ketemu, terus dibukanya. Dan kemaluanku yang sudah menegang kencang terbebas dari ‘kungkungan’. Batangku tidak terlalu panjang, tapi cukup besar dan padat. Sementara ujungnya yang ditutupi topi baja licin mengkilat, bergerak kembang kempis. Di ujung topi itu, lubang kecilku sudah licin berair. Sementara tubuh Gita makin melengkung dan tinggal punggungnya yang bersandar karena pahanya mengangkang semakin lebar, aku pun berusaha mencari posisi yang enak.
Sambil menindih paha kirinya, wajahku membenam di selangkangan menjilati lipatan pangkal pahanya dengan bernafsu, dan tangan kiri tetap bebas menjelajahi liang kemaluannya. Pinggulku mendekat ke tubuhnya untuk memudahkan ia meraih batangku. Soal ‘keamanan lingkungan’ sepenuhnya kupercayakan kepada Gita yang dapat memandang sekeliling.
Dengan gemas tangan Gita meraih tonggakku yang semakin tegak mengeras. Jari-jarinya yang halus dan dingin segera menjadi hangat ketika berhasil menggenggam batang itu. Ketika pangkal paha Gita mencuat semakin terbuka, ciumanku mendarat di pinggiran bibir memeknya. Ciuman pada memeknya membuat Gita bergetar. Ketika lidahku yang menjelajahi bibir kemaluan menggelitik kelentitnya, Gita semakin mengasongkan pinggulnya. Lalu.., tiba-tiba ia mengerang, kaki kanannya terlipat memiting kepalaku dan tangannya mencengkeram pangkal leherku, mendesakkan mulut memeknya ke bibirku, dan mengejang di situ. Gita orgasme!
Gita menyandar lemas di tiang pagar. Tapi itu tidak berlangsung lama, segera didorongnya tubuhku telentang dan dimintanya merapat ke dinding bambu. Aku mengerti yang dimauinya, aku tahu orgasmenya belum tuntas, tapi aku masih ragu. Semula aku hanya ingin menawarkan kenikmatan lewat lidah dan jariku, tapi kini telanjur Gita ingin lebih.
“Kamu oke, Git..?” tanyaku. Ia mengangguk.
“Aman..?” lanjutku sambil memutar biji mataku berkeliling. Ia kembali mengangguk.
“Ayo.. sini..!” kataku memberi kode tapak tangan menyilang, Gita langsung mengerti bahasa kami masa pacaran.
Ia mengangkang di atas badanku, jongkok membelakangiku dan kembali menghadap ke restoran. Ia mengangkat rok dan memundurkan pinggulnya hingga memeknya tepat di mulutku. Tanganku yang menganggur merogoh saku, mengambil ‘sarung’ yang sudah kusiapkan, kuselipkan di tangan Gita.
“Ihh, udah siap-siap yaa..?” katanya, sambil mencubit batangku.
Dengan sebelah tangan bertumpu pada dinding bambu, Gita berjongkok di wajahku yang berkerudung roknya. Dengan mendesah ia menggerakkan pinggulnya, menyapukan memeknya ke lidahku yang menjulur, kadang mendesak hidungku dengan tekanan beraturan. Tangannya sebelah lagi mengurut pelan kont0lku yang semakin tegang, lalu dengan susah payah berusaha memasang ‘sarung’ dengan sebelah tangan, gagal, malah dilempar ke lantai.
Saat sapuan memeknya di bibirku semakin kuat sementara lidahku yang menjulur sudah kebanjiran cairannya, pinggulnya ditarik dari mulutku, bergerak menuruni tubuhku ke arah selangkangan. Aku tidak tinggal diam, memeknya yang lepas dari lidahku kurogoh, kujelajahi dengan jari-jariku. Gita semakin menggelinjang, pahanya mengangkang mengharapkan datangnya tusukanku, sementara tangannya yang menggenggam mengarahkan kemaluan itu ke liang memeknya yang sudah berdenyut keras.
“Mas.. masukin yaa..!” Gita merintih sambil menarik batang kemaluanku, sementara aku masih memainkan jari di kelentit dan liangnya.
“Hhh, kamu lepaass dulu.. Ini udah keras banget..!”
Aku mengambil alih menggenggam tongkat. Kusentuh dan kugosok-gosokkan otot perkasa yang ujungnya mulai basah itu ke kelentit Gita. Gita melenguh. Sentuhan dengan ujung kemaluan yang lembut dan basah membuat kelentitnya serasa dijilati lidah. Napas Gita semakin terengah-engah.
Setelah puas membasahi kelentit, aku pindah ke mulut memek. Kuputar-putarkan tongkat kenikmatanku di mulut lorong Gita. Membuatnya semakin kelojotan dan medesah dengan sendu. Ia berusaha menekan tapi terganjal tangan yang menggenggam batangku.
“Masukin dong Mas..!” Gita menjerit lirih.
Dengan gemetar aku melepas tongkatku, topi bajaku menyentuh mulut memek Gita. Kemudian dengan hati-hati ia mendorong pelan-pelan, sampai kepala kont0lku membenam di liang itu.
Aku mengerang, kepala kemaluanku seakan diremas oleh cincin yang melingkari liang sempit milik Gita.
“Uhh.. enak Yang..!” Gita tebeliak-beliak sambil melenguh ketika kemaluanku menyeruak masuk lebih dalam ke liang nikmatnya.
Dinding memeknya yang lembut tergetar oleh nikmat yang menggelitik karena gesekan ototku.
Gita kemudian pelan-pelan mengangkat pinggul, menarik keluar batang kemaluanku. Ia mendesis panjang. Menggumam sambil menggigit bibir. Demikian pula ketika mendorong, menelan tongkatku yang kembali membenam di liang memeknya. Gita merasakan nikmat yang tidak habis-habisnya.
“Auughh.. Yang..! Teruus..!”
“E.. emhh.. kamu goyyaang teruss..!”
Kemudian Gita memiringkan badannya, memberi kode padaku. Ia ingin di bawah. Aku menjawab dengan mengangkat alis, sambil mata berkeliling. Ia mengangguk, artinya aman. Lalu, tanpa mencabut batangku, Gita berbaring pelan-pelan dan aku bangkit bertumpu pada palang dinding bambu. Dari sela-sela krey, di restoran tampak dua orang sedang asyik nonton TV membelakangi saung kami. Gita berbaring miring menghadap dinding pagar. Sebelah kakinya melonjor di lantai, sebelah lainnya mengait di palang bambu. Tanganku pindah memainkan klitoris, sementara batang kemaluanku keluar masuk di liang memek Gita. Membuat birahi kami semakin menggelegak.
Birahi yang makin memuncak membuat Gita dan aku terhanyut, tidak memperdulikan apa-apa lagi. Gita kini telentang, ia meraih bantal untuk mengganjal pantat, memudahkan kocokan batang kont0l di liang memeknya. Pinggul Gita dengan lincah berputar-putar, sementara aku semakin cepat mengayunkan pantat, menyebabkan gesekan kont0l dan memek semakin terasa mengasyikkan.
Tiba tiba Gita menegang. Pinggulnya menggelinjang dengan hebat. Matanya terbeliak dan tangannya mencakari pahaku dengan liar. Gerakannya semakin tidak beraturan, sementara kakinya membelit di pantatku.
“Akh.. cepetaan.. Yang..!” Gita mendesah-desah. “Gila.. enaak banget..!”
Ketika suatu desiran kenikmatan menyiram menjalari sekujur tubuhnya, ia menggelepar.
“Akuu.. keluaar.. laagii.. Yang.. kkamu..!”
Cakaran itu sama sekali tidak menghentikan gerakanku yang tengah menikmati remasan-remasan terakhir memek Gita di kepala dan batang kemaluanku. Aku pun hampir mencapai orgasme.
Lalu, “Uhh.. aku keluaar Git..!”
Aku mengocok dengan cepat dan menggelepar-gelepar tidak beraturan. Gerakan yang membuat Gita semakin melambung-lambung. Kemudian, kami berdua mengejang dengan saling mendesakkan pinggul masing-masing. Puncak birahi Gita menggelegak saat aku menumpahkan puncak kenikmatanku dalam-dalam membenam di memek Gita yang meremas-remas dengan ketat, bersama semburan cairan kentalku.
Beberapa saat kemudian, kami saling memandang dengan diam. Diam-diam pula kami gantian ke kamar mandi membersihkan sisa-sisa tisyu, menghabiskan makan dengan cepat (dan ternyata tidak habis).
Sambil makan aku hanya bilang, “Git, kalau ada apa-apa semua tanggung jawabku.”
Gita tidak menjawab hanya tersenyum, menggenggam tanganku erat sambil tersenyum penuh kasih.
Dalam perjalanan kembali ke kantor kami tidak banyak bicara. Hanya saat berpisah ia berbisik, “Terima kasih, aku bahagia. Tapi tolong lupakan..!”
Kedua: Di Kantor
Sejak peristiwa di saung itu aku berusaha untuk bersikap biasa, dia juga. Kami masih kerja bersama, makan siang sama-sama dan bercanda seperti biasa, terutama di depan teman-teman. Tapi kami menghindari percakapan yang lebih personal, apalagi membicarakan peristiwa itu. Kuat juga usahaku untuk melupakan hal itu, tapi yang ada aku makin sering melamunkannya. Membayangkan desahan dan rintihannya, gelinjang-gelinjangnya, terutama remasan liang nikmatnya di kont0lku. Aku tidak dapat melupakannya!
Semakin hari aku semakin tersiksa oleh bayangan Gita. Setiap kali lengan kami bergesekan, dan ini tidak dapat dihindarkan karena memang selalu bersama, getaran birahi menjalari tubuhku, dan berujung di selangkanganku yang mengeras. Ia sendiri nampaknya biasa saja.
Suatu ketika dengan cuek ia menggayut di lenganku saat menaiki undakan ke kantin, burungku langsung menggeliat. Sesudahnya saat memesan makanan, sambil berdesakan ia menempelkan dadanya di lenganku. Aku langsung berkeringat, berusaha untuk tetap tenang ngobrol dengan yang lain di meja makan. Perlu setengah jam untuk ‘menenangkan’ burungku.
Sampai suatu hari, ia datang ke tempatku. Ruangku terbagi atas kotak bersekat setinggi dada. Setiap kotak berisi meja dan komputer untuk satu orang, yang kalau duduk tidak kelihatan, tapi kalau berdiri kelihatan sampai dada. Selain itu ada satu kotak yang agak besar berfungsi untuk ruang rapat, letaknya di ujung dan selalu sepi kecuali ada meeting.
Ia menghampiriku saat aku sedang sendiri di ruang rapat.
“Yang, nanti bantuin yaa. Aku mau ngelembur.”
Panggilan ‘Yang’ membuat darahku berdesir.
“Boleh. ‘Bor’-nya sapa yang mau dilempengin.”
Aku melempar canda biar agak santai. Istilah ‘ngelembur’ oleh orang kantoran seringkali dipanjangkan sebagai ‘nglempengin burung’.
“Nglempenginnya sih kamu buka internet aja. Aku sih bagian nglemesin..!” sahutnya cuek, sambil duduk di meja rapat, tepat di depanku.
Darahku berdesir, langsung kontak ke selangkangan dan mengeras. Aku menengok ke pintu masuk. Dua orang temanku sedang ngobrol asyik sekitar lima kotak dari tempatku, yang lain sedang keluar.
“Lagi sepi..!” katanya, menebak arah pandanganku.
Lalu ia mengalihkan pandangannya ke bawah, arah celanaku.
“Tuuh.. lempeng..!” ia terkikik sambil menyentuh dengan kakinya.
Untuk menetralisir, aku duduk di kursi sambil melonggarkan bagian depan celanaku.
“Sorry, aku nggak bisa ngelupain kamu,” kataku sambil mencari posisi yang nyaman.
“Memangnya aku bisa..?” jawabnya.
Ia membuka pahanya sedikit sehingga aku makin blingsatan, memutar-mutar kursi yang kududuki sambil mengerakkannya maju mundur.
“Sini dong maju, aman kok..!”
Aku memajukan kursi hingga pahanya tepat di depanku. Tidak menyia-nyiakan tawaran yang kuimpikan siang malam, tanganku dengan gemetar mulai merayapi pahanya, tapi Gita menahannya.
“Sstt.. tunggu..!” ia mendorongku, lalu turun dari meja.
Gita menempelkan pantatnya di pinggiran meja setelah roknya disingkapkan sebatas pinggul.
“Biar gampang nutup kalo ada orang.” katanya.
Gita memang brilian dalam merancang ‘pengamanan’.
Tanganku kembali menyusuri paha Gita, dengan berdebar-debar merayap terus ke dalam. Gita mulai mendesah, mengepalkan tangannya. Bibirku menciumi lututnya, dengan lidah kujelajahi sisi-sisi dalam pahanya hingga tanganku mencapai pangkalnya. Jariku menyusuri pinggiran CD-nya, tapi aku menyentuh bulu halus, celah basah, benjolan kecil, aku penasaran, kurenggangkan pahanya. Ternyata CD-nya dibolongi persis di sekitar memek, terang saja jariku langsung menyentuh sasaran.
“Bolong..,” aku berbisik.
“Iya, biar gampang dipegang,” jawabnya.
“Kenapa nggak dilepas aja..?”
“Keliatan dong, ‘kan nyeplak di luar. Kalo gini ‘kan, kayaknya pake tapi bisa kamu pegang.” ia menjelaskan, lagi-lagi brilian!
Aku mulai menggosok klitorisnya, sementara liangnya sudah semakin basah. Gita mengangkangkan memeknya, pahanya diangkat menopang di meja, kakinya sedikit jinjit. Dengan hati-hati lidahku kuselipkan di celah labia mayoranya, menyapu klitorisnya berulang-ulang. Jariku yang sudah basah oleh cairannya kubenamkan pelan-pelan di liangnya, kuputar-putar mencari ‘G-Spot’-nya. Saat kutemukan, G-spot-nya kugosok lembut dengan jari tengah, sementara dari luar lidahku memainkan bagian bawah klitoris. Tidak lama Gita langsung mengejang, menggenggam rambutku kencang. (Saat kami pacaran, aku belum tahu G-spot).
“Yang.. udaah..!” ia berbisik, memberikan saputangan untuk membersihkan jari, mulutku, dan liangnya, sekalian buat mengganjal celana bolongnya biar tidak netes-netes.
Tiba-tiba pandangan Gita berubah serius, dilanjutkan dengan omongan yang tidak jelas.
“Soalnya yang aku print kok laen sama yang dipegang bossku.”
Aku bingung tapi langsung menimpali, “Yang punyaku bener kok..” kataku sambil berdiri.
Benar saja, cewek-cewek Biro tempatku baru saja masuk ruangan.
“Ya udah, nanti dikopiin lagi aja,” lanjutnya sambil berjalan keluar,
“Terus yang ini jangan lupa disiapin..” saat melewatiku, tangannya menjulur meremas bagian depan celanaku.
Gita sempat ngobrol dulu dengan teman-temanku. Berbasa basi, lalu kembali ke ruangannya.
Rasanya lama sekali menunggu sore. Jam 5 kantor bubar. Aku naik ke tempat Gita yang satu lantai di atasku. Gita sudah menunggu di ruangannya lalu mengajakku ke ruang komputer yang terletak di sebelah. Ia harus menyusun undangan seminar dari bos Hongkong-nya. Kubuatkan program konversi daftar client dari database ke format txt untuk di-merge dalam undangan, sementara Gita melakukan check ulang data undangan.
Jam 7 malam satpam datang mengontrol seperti biasa. Gita memberitahu bahwa ia masih pakai ruang komputer sampai jam sembilan. Aku sendiri makin asyik dengan programku, tidak menyadari kalau Gita sudah menghilang dari sebelahku. Sadarnya waktu HP-ku berbunyi, ternyata Gita telpon dari ruangannya di sebelah.
“Sini dong Mass..!” ia berbisik, membuat darahku kembali berdesir mengalir ke selangkangan.
Aku meng-execute programku lalu bergegas ke sebelah. Ruang di seberangku masih terang, tapi tempat Gita sudah gelap. Aku ragu-ragu, kucoba membuka ruang Gita, ternyata tidak terkunci, aku masuk langsung menutup pintu.
“Dikunci aja..” terdengar suara Gita berbisik lirih.
Ruang itu terbagi jadi ruang pertama tempat Gita biasa duduk, ruang tengah untuk meeting, terus ruang ujung tempat bossnya. Aku mengunci pintu terus menghampirinya di ruang tengah, tempat bisikan itu berasal. Dalam keremangan kulihat Gita duduk di meja meeting nyaris telanjang, hanya tersisa CD-nya.
“Buka baju Sayang, terus naik sini..!” Gita menyapa dengan lembut, sapaan yang membuat birahiku menggelegak.
Gita duduk memeluk lutut kirinya yang ditekuk menopang dagu. Kaki kanannya terlipat di meja seperti bersila. Di bawah cahaya lampu yang lemah menerobos dari luar, sosok Gita bagaikan bidadari yang sedang menanti cumbuan cahaya bulan. Aku berusaha tenang, membuka baju, sepatu, celana, lalu dengan berdebar melangkah keluar dari onggokan pakaian dan menyusul naik ke atas meja.
Gita membuka tangannya, lutut kirinya juga rebah membuka. Aku mengusap pipinya dengan halus saat jari Gita menjelajahi leherku pelan, lalu dada, lalu naik mengelus lenganku, pelan dan lembut menyusuri bagian dalam lenganku ke arah ujung jari. Digenggamnya jari-jariku, dikecupnya lalu dibawa ke leher, dada, mendekapnya sesaat. Lalu.. tiba-tiba aku telah terbenam dalam dekapannya. Dadanya yang bulat penuh menekan, memberikan kehangatan yang lembut ke dadaku, kehangatan yang menjalar pelan ke bawah perut.
Tanganku mengusap punggung dan rambutnya, lalu entah gimana mulainya, tiba-tiba saja aku sudah menciumi lehernya. Kukecup hidungnya, keningnya, telinganya, Gita menggelinjang geli. Kusodorkan bibirku untuk meraih mulutnya, ia merintih lirih dan merangkulku sambil mulutnya bergeser mencari bibirku, lalu kami berpagutan dengan lahap bagaikan kelaparan. Pelukan dan ciuman ini yang sebenarnya paling kurindukan, yang tidak dapat dilakukan saat di saung atau di ruanganku. Cinta dan ketulusannya kini dapat kurasakan lewat peluk dan ciumannya.
Gita terpejam manja saat kujelajahi mulutnya dengan lidahku, bibirnya langsung menyedot dan melumat lidahku dalam-dalam.
“Oohh, Yang..!” Gita mengeluh saat tanganku mulai merayapi tubuhnya, bermain di sekitar puting susu, turun ke perut menyelusup ke CD-nya.
Masih dalam pelukan ia merebahkan badan di meja dengan dialasi jasnya si Hongkong.
Setelah rebah berdampingan kami mengendorkan pelukan, membebaskan tangan agar lebih leluasa. Kami saling menyentuh bagian-bagian sensitif yang masing-masing sudah sangat hapal. Gita memejamkan mata menikmati sentuhan-sentuhanku, sementara jarinya mengurut lembut batang kont0lku, dari pangkal ke atas, memutari helm lalu turun lagi ke pangkal, membuat batangku keras membatu.
“Yang..! Jilat..!” ia mendesah, aku mengerti maksudnya.
Aku bangkit, lalu bibirku mulai menciumi seluruh tubuhnya, mulai dari lengan sampai ke ujung jari, kembali ke ketiak, menyusuri buah dadanya ke tangan satunya.
“Yaanng, Git kangen jilatanmu..!” Gita mengerang dan menggelinjang semakin kuat.
Saat jilatanku mencapai pangkal lengannya, Gita berbalik menelungkup. Kini lidahku menyusuri pundak, Gita terlonjak saat lidahku mendarat di kuduknya, lalu perlahan menjelajahi punggungnya.
Saat jilatanku mencapai pinggiran CD-nya, Gita kembali menelentang lalu sambil membuka CD-nya, lidahku pelan-pelan menyusur pinggang, perut terus ke bawah. Paha Gita membuka, menyodorkan bukit kemaluannya yang menggunduk dengan belahan merekah ke hadapanku. Melewati pinggiran gundukannya, lidahku meluncur ke samping, menjilati paha luar sampai ke jari kaki, lalu kembali ke atas lewat paha bagian dalam. Sampai di pangkal, lidahku menjelajahi lipatan paha, memutari pinggiran bulu-bulu halusnya, lalu menyeberang ke paha sebelah. Gita melenguh keras.
Aku menjelajahi kedua lipatan pahanya bolak balik, kadang lewat gundukan bulu-bulunya, kadang lewat bawah liang memeknya. Pahanya terkangkang lebar, sementara cairannya semakin membanjir. Lalu tangannya menggenggam rambutku, menyeret kepalaku dibenamkan ke tengah selangkangannya yang basah dipenuhi cairan kenikmatannya. Aku langsung menyedot kelentitnya.
Gita tersentak,
“Yaannggggg.. kamu.. nakal..!” rintihnya menahan nikmat yang menggelora.
Dengan bertumpu kedua tangan, lidahku kini menjelajah dengan bebas di celah memek, menjilati klitorisnya dengan putaran teratur, lalu turun, menjelajahi liang kewanitaannya. Gita mengejang sambil mengerang-erang.
“Yaang, udaah.. masukin..!” Gita mencengkeram leherku dan menyeretnya ke arah bibirnya.
Aku mengambil posisi konvensional. Batangku yang sudah tegang mengeras menyentuh gerbang kenikmatan yang licin oleh cairannya. Gita tersentak saat kepala kont0lku menyeruak di bibir memeknya.
Kubenamkan kepala kont0lku sedikit demi sedikit, oh.. hangatnya memek Gita. Dinding memeknya mulai bereaksi menyedot-nyedot, remasannya yang selalu kurindukan mulai beraksi. Kutarik lagi kont0lku, pinggul Gita menggeliat seolah ingin melumatnya. Kubenamkan lagi batang kont0lku perlahan, Gita menaikkan pinggulnya ke atas, sehingga setengah batang kont0lku ditelan memeknya. Pinggulnya diputar-putarkan sambil melakukan remasan nikmatnya.
“Ooogghh, Giittt.. aduuhh..!” desahanku membuat Gita semakin semangat menaik-turunkan pinggulnya, membuat batang kont0lku seolah dipilin-pilin oleh liangnya yang masih sempit.
“Maass.. tekaann Maass..! Giitaaa.. hh.. nikmaatt.. sekali..!”
Pinggul dan badannya semakin sexy, perutnya yang sedikit membesar membuat nafsuku semakin menjadi-jadi. Aku setengah duduk dengan bertumpu pada dengkul menggenjot kont0lku keluar masuk memek Gita yang semakin berdenyut.
“Cleekk.. cleekk.. bleessss..” gesekan kont0lku dan memeknya bagaikan kecipak cangkul Pak tani di sawah berlumpur.
“Yaang, aduuhh, batangnyaa.. oohh.. Giit.. nggaak tahaan..!”
Gita badannya bergetar, pinggulnya naik turun dengan cepatnya, miring ke kiri dan ke kanan merasakan kenikmatan kont0lku.
Badan Gita berguncang-guncang keras, goyangan pantatnya tambah menggila dan lubangnya seakan mau memeras habis batang kont0lku. Spermaku rasanya sudah mengumpul di kepala kont0l, siap menyembur kapan saja, susah payah aku bertahan agar Gita mencapai klimaks lebih dulu.
“Teken teruuss..! Yuu bareng keluariin Maass..!”
Goyangan kami makin menggila. Aku menusukkan batang kont0lku setengah, dan setiap coblosan ke delapan aku menekannya dalam-dalam. Akibatnya gelinjang pantat dan pinggul Gita semakin menjadi-jadi. Sambil mengelepar-gelepar keasyikan, matanya merem-melek. Kuciumi dan kulumat seluruh wajahnya, bibirnya, lidahnya, ludahnya pun kusedot dalam-dalam. Gita mencakar punggungku keras sekali sampai aku tersentak kesakitan. Itu tandanya ia mau mencapai klimaks. Kutahan mati-matian agar aku jangan muncrat dulu sebelum ia orgasme.
Tiba-tiba,
“Yaanng.. oohh.. aduhh.. Giit.. keluaar.. oohh.. aduuh.. gilaa.. aahh. aahh.. uuhh.. uuhh.. uuhh..!” dia sekali lagi mencakariku, itu memang kebiasaannya kalau meregang menahan klimaks luar biasa.
Aku tidak perduli punggungku yang baret-baret oleh cakarannya. Aku terus menggenjotkan kont0l dengan teratur sambil konsentrasi merasakan nikmat yang semakin mendesak-desak di ujung kont0lku. Suatu gelombang dahsyat bagaikan menyedot seluruh perasaanku menyembur dari ujung kemaluanku, memancar dalam dalam di liang memeknya. Aku mengejang beberapa detik, lalu terkulai dalam pelukannya.
Beberapa menit kami berdiam sambil pelukan, sampai batangku melemas dengan sendirinya. Aku turun dari tubuhnya. Gita turun dari meja, mengambil tisyu dan teko air dari meja si Hongkong. Lalu kami bersih-bersih organ masing-masing, kembali berciuman sambil saling mengenakan pakaian. Selesai berpakaian Gita keluar duluan mengintip, dengan kodenya aku keluar kembali ke ruang komputer, di sana satpam sudah menunggu. Kukatakan aku dari kamar mandi, dan Gita tidak tau kemana.
“Kenapa..? aku dari bawah barusan.. lewat tangga.” Gita muncul di pintu, memberi penjelasan.
“Lho, saya juga lewat tangga..” kata satpam.
“Ooo.. Naiknya sih lewat lift depan,” Gita berkilah.
Program transferku sudah berhenti proses. Setelah beres-beres, mematikan komputer, AC, dan lainnya, aku, Gita dan satpam turun. Kuantar Gita sampai mobilnya.
“Thank’s yaa..” kataku.
Ia mengedipkan mata, “Sama-sama..” katanya.
Ke tiga: Di Shiat Su
Kalian tahu Shiat Su..? Sauna ala Jepang yang populer akhir tahun 80-an. Sejak acara ngelembur di kantor, Gita dan aku sama-sama sibuk, jadi kami jarang ketemu. Aku kangen berat tapi tidak bisa apa-apa, sampai suatu ketika ada pesan di mejaku dengan tulisan rahasia yang hanya dimengerti kami berdua. Gita ‘memerintahkan’ aku mengecek jadwal SS untuk family (Kayak yang dulu!)
SS adalah Shiat Su, mandi uap ala Jepang, sedangkan ‘family’ adalah hari khusus yang mengizinkan pasutri (pasangan suami istri) mandi uap bareng. Aku langsung ngecek ke beberapa tempat, ternyata hanya ada satu yang terima family, yaitu di satu pertokoan besar di Jakarta Pusat, itu pun hanya hari Rabu. Gita segera kukabari.
Singkatnya, pada hari yang ditentukan Gita pamit keluar sedangkan aku memang sedang tugas di client. Pukul 10 Gita kujemput di wartel sekitar 1 km dari kantor. Gita minta naik taksi (untuk menghilangkan jejak!), yang lalu ngedrop kami di tujuan. Sepanjang jalan kami tidak ngobrol banyak, malah tangan yang lebih aktif saling remas, kadang ‘nyelonong’ ke lutut.
Bolak balik Gita berbisik di telingaku,
“Yaang.. aku kangeen..!” desahnya bikin batangku pelan-pelan mengeras.
Aku bergegas ke loket mendaftar sebagai pasutri dan Gita langsung ke ruang ganti cewek. Buat yang belum tahu, begitu daftar kamu dapat celana pendek, handuk, dan kunci lokker. Dengan hanya pakai celana pendek kegiatan SS berlangsung, kecuali yang cewek. Biasanya mereka pakai swimsuit dulu baru dilapis celana pendek.
Acara SS dimulai dengan mandi uap, yaitu masuk ke satu ruang yang diuapi dengan batu dibakar dan ditetesi air, membuat kita sulit bernapas tapi keringat berikut berbagai racun yang ‘ngumpet’ keluar semua lewat pori-pori yang terbuka. Ruang uap untuk laki terpisah dengan yang untuk cewek.
Hari itu sepi, aku hanya bertiga di tempat cowok.
Tidak lama aku dipanggil waitress, “Bapak dipanggil Ibu ke sebelah,” katanya.
“Boleh ke sana..?” aku tanya.
“Boleh, mumpung lagi kosong. Tapi nanti kalau ada ibu-ibu yang lain, Bapak harus kembali ke sini yaa..!” lanjutnya.
Tentu saja kujawab iya!
Di ruang uap sebelah, Gita menungguku sambil menggosoki tubuhnya. Badannya terbalut swimsuit yang sampingnya bolong di bagian pinggang, sebenarnya sampingnya bolong semua karena bagian atas dan bawahnya hanya diikat tali, jadi kalau talinya lepas praktis dari ketiak sampai paha terbuka (mirip bikini, hanya bagian depannya tertutup pas di sekitar pusar). Ia tidak pakai celana pendek, tapi ditutup sekedarnya dengan handuk. Temperatur tinggi dan uap air yang pekat membuat tubuh Gita bersimbah keringat, menetes netes dari rambutnya yang pendek ikal, membuat swimsuit-nya menempel ketat di badan.
“Maass, gosokin..!” Gita merengek manja.
Ia duduk di bangku pertama (bangkunya dua baris, kayak undakan) menyandar ke bangku belakangnya. Kaki kirinya diangkat, sedikit mengangkang hingga ‘VW kodok’ di pangkal pahanya menggunduk di balik swimsuit. Ia duduk menggosok-gosok pahanya yang basah oleh keringat, tersenyum menatapku dengan pandangan yang menggetarkan birahi. Batangku langsung mengacung di bawah pandangan syahdunya.
Aku duduk di bangku belakangnya dengan batang mengeras menempel di punggung Gita. Lewat bahu terlihat bukit kembar yang basah oleh keringat, mengintip di balik belahan bajunya. Sambil berusaha santai, tanganku melakukan massage di wajahnya. Gita menyandarkan kepala ke perutku, membuat batangku semakin mengeras mengganjal punggung, malah kepala kont0lku mendesak-desak ke belakang lehernya. Sambil kuurut wajahnya, tangan Gita menggosoki tubuhnya yang berkeringat, menggeliat-geliat sambil mendesah.
Tanganku pindah ke leher mengurut perlahan bahu dan pangkal lengannya. Kepala kont0lku sudah menyeruak keluar dari celana, menggesek pangkal lehernya yang basah bermandi keringat. Sentuhan ujung rambut Gita di permukaan helm-ku menimbulkan desiran nikmat yang makin menjadi-jadi. Lalu ia meraih tanganku dibawa ke dadanya. Aku terengah-engah kekurangan oksigen ditambah nafsu yang bergolak saat tanganku menyentuh bukit kembarnya yang padat, ditambah lagi batangku yang mencuat kadang sengaja dijepit di sela pundak dan leher yang licin oleh keringat.
Gita lebih parah lagi, dengan napasnya tersengal-sengal ia malah minta aku menggosok pangkal pahanya. Aku turun ke lantai mengendurkan kenikmatan yang sudah mendesak di ujung kont0l. Tanganku mengusap gundukannya dari luar swimsuit yang saking basahnya oleh campuran keringat dan entah apa, terbentuk celah yang membelah menjadi dua gundukan yang menebal. Walau terbungkus, jariku yang bergerak menyusuri celah itu dapat merasakan denyutan bibir memeknya dan ketegangan klitorisnya. Hanya beberapa menit kemudian Gita sudah menendang-nendang, terpejam lalu mengejang.
Cepat-cepat aku coba memapah Gita ke luar, takut pingsan kehabisan napas. Saking takutnya, kont0lku mengkeret tanpa kusadari. Tapi Gita menolak.
Ia menarik napas panjang, melek, senyum terus berbisik,
“Jangan sentuh yaa, nikmatnya bisa lamaa niih.. bukain pintu aja, terus tinggalin aku.”
Aku baru ingat, orgasme dengan oksigen yang minim akan membuat rasa nikmat seolah tidak habis-habis, mungkin ini yang terjadi pada Gita.
Aku meneruskan acara SS. Selesai mandi uap selanjutnya adalah berendam di kolam dingin, kolam panas, dingin lagi, panas lagi, terus sampai bosan. Kolam itu dalamnya sepinggulku, jadi kalau berdiri pas merendam kont0l, dan tidak dipisah antara laki perempuan. Saat aku ke kolam, dua cowok yang duluan datang sudah bilas-bilas, sehingga tidak lama kemudian tinggal aku sendirian.
Rasa nikmat yang mengumpul di ujung kont0lku masih mengganjal, tapi batangnya mengkeret (akibat ketakutan, mungkin!). Begitu aku masuk kolam dingin rasa nikmat itu mulai menyebar pelan, merata di seluruh batang. Sambil menggigil aku mengurut pelan batangku, mencoba membangunkan rasa nikmat yang tertunda. Dan berhasil, desiran kenikmatan mulai naik lagi, tapi anehnya hanya berkumpul di sekitar batang, mendesak-desak ke ujungnya.
5 menit sudah lewat, berarti waktunya untuk pindah. Aku meloncat ke kolam panas (panas beneran!), dan kembali mengurut. Pelan tapi pasti desiran kenikmatan kembali naik, kali ini batangku ikut membesar. Ketika saatnya kembali ke kolam dingin Gita muncul. Ia langsung bergabung di kolam dingin, kali ini ia pakai celana pendek di luar swimsuit-nya. Kerlingannya yang menggugah birahi kembali dilemparkan.
“Gimana Git, udah enakan..?” aku bertanya sambil tetap mengurut.
“Enak dong, sampe sekarang belum abis, kamu gimana..?” ia balik bertanya.
“Ini lagi diurut-urut, enak tapi nggak nyampe-nyampe,” jawabku.
Ia ketawa, “Naiknya pelan-pelan yaa. Makanya dibikin panas dingin biar lamaan enaknya,”
Benar juga, pikirku.
“Sini, ‘tak bantuin.” Gita mengajakku ke pojokan kolam.
Tangan kami bertumpu ke pinggiran kolam di sisi yang berbeda. Aku berjongkok demikian rupa sehingga kepala kami berjauhan tapi dengkul saling merapat, jadi tangan yang sebelah dapat saling menyentuh.
Gita merogoh kont0l menggantikan tanganku. Jari-jarinya yang ahli mengurut batangku pelan dan lembut. Ia mengambangkan badan di depanku sehingga tanganku dapat meraih pangkal pahanya. Tanganku menggigil menyusup ke dalam celananya, menerobos sela baju renang dan menemukan celah kemaluannya. Klitorisnya masih keras, sisa tadi dan akibat dinginnya air kolam. Aku mengusap dengan teratur, perlahan dan agak mengambang, sementara jarinya memilin lipatan helm-ku, juga pelan dan teratur. Seiring dengan itu, rasa nikmat yang menjalari kemaluan ikut merambat naik pelan-pelan.
“Gimana rasanya Git..?” aku berbisik.
“Sss.. naik pelan-pelan. Kamu..?” ia mendesah, pantatnya bertumpu di lututku.
“Sama..! Ngumpul di ujung, nyebar ke dalem, ngumpul lagi.. kamu..?”
“Sama..!”
Lewat lima menit, kami pindah ke kolam panas dengan konfigurasi posisi yang sama. Seperti kuduga, kont0lku dan klitorisnya yang semula bagaikan membeku mulai mengembang. Getaran kenikmatan yang menggumpal di ujung organ masing-masing mulai menyebar ke seluruh tubuh. Gita tetap menjaga keteraturan usapannya, membuat grafik kenikmatanku tidak melonjak tiba-tiba, tetap menaik perlahan. Begitu pula jariku mencontoh gerakan Gita.
Setelah tiga kali bolak balik, dua orang pengunjung masuk. Kami mengakhiri permainan dalam posisi birahi sudah diubun ubun. Sesudah bilas dengan air biasa, acara selanjutnya adalah massage. Kami berganti kimono dan duduk menanti panggilan di movie room sambil minum juice, filmnya ‘Basic Instinct’ versi LD.
Tidak ada tamu lain. Gita dan aku membenam di sofa paling pojok dengan birahi yang sudah memuncak. Aku langsung mengelus tubuhnya dengan penuh perasaan. Seperti juga aku, tubuh Gita yang merinding dipenuhi bintik-bintik seperti orang kegatalan atau kedinginan, puting susunya berdiri dan mengeras seperti klitorisnya. Gita sementara itu meremas kejantananku dengan jarinya yang lembut.
Kami saling mendekap dan berciuman, hal yang tidak dapat dilakukan di kolam. Saat tanganku mengusap memeknya yang basah, lalu klitorisnya kupilin perlahan dengan dua jari, Gita mengerang dan berusaha naik ke pangkuanku. Saat itulah waitress datang memanggil untuk massage. (Waiter dan waitress yang mengantar juice sempat memergoki tanganku merayap di dada Gita. Saat kami lewat ke tempat massage, sempat kulihat waitress itu digerayangi oleh teman lelakinya dari belakang, ia menolak tapi nampaknya bukan penolakan yang serius).
Sesuai pesananku, kami ditempatkan di ruang massage dengan dua ranjang khusus yang pakai lubang buat kepala. Kedua wanita yang melayani menyambut dengan ramah.
“Pasangan Pak..?” salah satunya bertanya.
“Iya.. dong..!” Gita yang menjawab.
Lalu Kami naik ke atas ranjang. Mereka memijat dengan profesional, kaki, punggung, tangan, kepala, sampai akhirnya diinjak sambil gelantungan di palang besi. Pijatan seorang akhli membuatku jadi rileks, sayangnya birahi yang telah bangkit pelan-pelan tidak juga turun, aku seperti melayang dalam kenikmatan.
Akhirnya, “Mbak, boleh aku bantu nggosokin istriku..?” aku nekat.
“Oo.. silakan Pak, udah selesai kok.”
Aku turun dan menghampiri ranjang Gita. Ia dalam posisi telentang saat aku membantu mengurut pahanya, tapi Gita menolak.
“Apa-apaan sih! Malu dong sama Mbak ini..” kata Gita, melotot sambil menepis tanganku.
Tapi wanita yang memijat Gita tersenyum manis,
“Silahkan saja Bu. Nggak usah malu, biasa kok suami istri di sini.” katanya.
“Kami tunggu di sebelah. Tapi maaf, suaranya jangan keras-keras nanti kami ditegur supervisor,” ia meneruskan, lalu menarik gorden yang menyekat kedua ranjang dan menunggu di ranjangku.
Akhirnya Gita hanya tersenyum melihat kelakuanku.
“Dasar nakal, nggak sabaran banget,” bisiknya, tapi dengan hangat ia membalas ciumanku.
Saat jariku meraba kemaluannya ternyata masih tetap basah, maka aku tidak membuang waktu lagi, langsung kulepaskan celananya, juga celanaku. Lidahku mulai menyusuri lututnya perlahan, menuju ke pangkal paha. Saat lidahku mencapai gundukan yang merekah ditumbuhi bulu halus, paha Gita merenggang dan klitorisnya yang keras segera kujilati. Foreplay-nya sudah lebih dari cukup! Gita langsung menarik tubuhku ke atas ranjang.
Sambil berciuman dalam posisi konvensional, tubuhku menindih Gita. Dadanya yang kencang menekan hangat dadaku. Seluruh tubuhnya merinding, kasar berbintik terutama di dada dan pangkal paha. Gita melebarkan pahanya memudahkan kont0lku yang tegang meluncur di belahan bibir memeknya yang menggunung. Kont0lku yang berada pada puncak kekerasannya, dibimbing tangan Gita menjelajahi celah itu yang dibanjiri cairan kenikmatan, berputar-putar menyapu klitoris.
“Hmfhh.. teruss.. Mass.. masukk..!” di sela-sela ciuman Gita mengerang, mengarahkan genggamannya ke mulut memek.
Dengan bertumpu kedua tangan, kont0lku menempel di mulut memeknya, pelan-pelan kudorong. Gita melenguh saat aku menerobos ke dalam lorongnya, menggesek dinding-dindingnya yang kenyal. Masuk kira-kira sepertiga, batangku kutarik perlahan. Saat itu kemaluanku serasa digenggam oleh lipatan daging yang liat, berlipat-lipat, dan basah berdenyut. Sampai batas mulut memek kudorong lagi perlahan, dengan mengerang Gita menggeliat menyorongkan pinggulnya agar kont0lku cepat tertelan jepitannya.
“Acchh.. uuffhh..!” desah Gita ketika seluruh kont0lku masuk ke dalam memeknya.
Kedua pahanya melingkar di badanku agar batangku tetap membenam, kucoba menarik keluar lalu kutancapkan dalam-dalam, kutarik lagi, kumasukkan lagi dengan ritme membuat Gita mengerang-erang keenakan. Nikmat yang dirasakan membuat ia hanya sanggup mengelinjang-gelinjang.
“Mass.., egghh.. aacchh.., puassin aku dulu ya..!” pinta Gita.
Tanpa menunggu jawaban ia membalik ke atas tubuhku, membuat kont0lku terlepas dari jepitannya.
Lalu kont0lku yang makin keras itu dituntunnya ke liang memeknya dan,
“Aagghh..” dengan jeritan kecil Gita, seluruh batang kont0lku kini amblas masuk ke dalam memeknya yang sudah banjir.
Dengan tangan bertumpu di dadaku, ia memintaku meremasi buah dadanya yang besar menggelantung di wajahku. Kini ia sepenuhnya bebas menguasai permainan, dengan berjongkok ia menaik-turunkan pinggul, menggeliat seperti penari hulahoop membuat batangku seperti digiling-giling, pegal, linu tapi nikmatnya tidak pernah kurasakan sebelumnya.
Kini ia menggesek-gesekkan memeknya maju mundur mencari posisi sentuhan yang paling nikmat pada klitorisnya, sementara aku menggerakkan pinggulku membuat gesekan maksimal kepala kont0lku pada otot mulut memeknya.
Akhirnya, “Ougg.. Yaang.., Gila..!” dengan mata terpejam ia mengejang-ngejang sambil menggigit bibirnya, merasakan nikmat yang tiada tara itu.
Ia terkulai di atas tubuhku beberapa saat sebelum akhirnya aku berbalik, kembali di atas.
Kurasakan desakan kuat yang akan menyembur keluar dari kont0lku, kutekuk kedua paha Gita ke atas, dan dengan memusatkan perhatian pada ujung kemaluan kugenjot liangnya dengan irama cepat. Gita mengerti kalau aku mau keluar, ia mengejan-ejan meremaskan memeknya. Otot vulvanya yang seperti cincin mengurut kont0lku mulai dari pangkal, pelan bergerak ke ujung, memilin dan menghisap kuat. Aku tidak kuat lagi menahan rasa nikmat ini hingga akhirnya aku orgasme.
“Gita.. akuu..” cairan kenikmatanku menyembur deras di memeknya yang meremas-remas.
Kedua pemijat yang habis mengintip dari sebelah membantu kami membersihkan sisa-sisa kenikmatan.
Terpaksa aku memberi tips agak banyak buat menghilangkan malu, lha dia malah ngomong, “Lain kali pesan saya aja Bu, nama saya Ketty teman saya Neni. Kita kan udah kenal jadi bisa bantu Ibu.”
“Tapi lain kali dibantuin beneran yaa..!” aku nyeletuk.
Gita menyikutku sambil melotot,
“Dasaar..!” ia mengomel.
Dalam perjalanan pulang kami tertidur di taksi. Aku turun di jalan, dan Gita langsung ke kantor. Tidak lama kemudian HP-ku bunyi, ternyata Gita mengabari bahwa ia langsung pamit pulang.
“Nggak bisa kerja. Nggak kuat lagi, lemeess..!” katanya.
Link Alternatif Inipoker
0 Response to "PetikPisang69 - GITA YANG TERLUPAKAN"
Post a Comment