AKU DENGAN NANA YANG MANIAK
PetikPisang69 - Krisna (nama samaran), 45 tahun, Pertemuanku dengan Nana (nama samaran) pada upacara pemakaman ibuku awal tahun ini membuka kembali kenangan lama bersamanya. Kenangan indah yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Waktu bertemu di makam, kuamati kulit wajah dan tangan Nana sudah terlihat kerut-kerut kecil, tapi masih menyisakan gurat kecantikan yang dulu membuatku terpesona padanya.
Ia pun masih ramah seperti dulu. Dan hatiku masih berdebar kala menyambut uluran tangannya saat ia mengucapkan bela sungkawa kepadaku. Ia datang bersama Carla (nama samaran), anaknya yang sudah tumbuh menjadi gadis remaja tak kalah cantik dengan mamanya.
Aku mengenal Nana sejak aku masih duduk di bangku SMP. Ia adalah rekanan ibu dalam bisnis butik kecil-kecilan. Ibu merintis usaha butiknya sejak ayah meninggal waktu aku masih kelas 5 SD. Dengan bermodal uang santuan kematian ayah, ibu membuka usaha jahit baju wanita kecil-kecilan dan Nana adalah salah satu pelanggan setianya. Dari situlah kemudian Nana bersahabat baik dengan ibu.
Nama aslinya adalah Renna, tapi ibu biasa memanggilnya Nana karena ia keturunan Tionghoa. Itulah sebabnya anak-anak ibu, termasuk aku, jadi ikut-ikutan memanggilnya Nana.
Waktu aku kelas 1 SMA, Nana melahirkan anak pertamanya yang diberi nama Carla, tapi setahun kemudian suaminya meninggal dunia. Mungkin karena sama-sama berstatus janda, hubungan ibu dengan Nana makin dekat, walaupun ibu jauh lebih tua darinya. Meski berbeda latar belakang suku bangsa, hubungan kami dengan Nana sudah seperti keluarga. Ia rutin datang ke rumah kami yang sekaligus jadi tempat usaha ibu. Berkat Nana usaha ibu berkembang yang semula hanya menerima jahitan baju wanita bertambah dengan adanya butik. Tak jarang Nana menitipkan anak perempuannya yang masih bayi pada ibu saat ia ada urusan bisnis di luar kota.
Di antara ke 4 anak ibu, akulah yang paling dekat dengan Nana. Kakak laki-lakiku sibuk dengan urusan kuliahnya, sementara kedua adikku, satu laki-laki dan satu perempuan, masih kecil-kecil. Aku sering membantu ibu mengantarkan pesanan jahitan ke pelanggan, termasuk ke Nana. Selain itu, aku juga biasa diminta ibu untuk menemaninya dan Nana belanja baju-baju untuk koleksi butik ibu. Kalau belanja ke luar kota, biasanya ke Bandung atau Solo, hanya ibu saja berdua dengan Nana.
Sejalan dengan bertambahnya usiaku, aku makin menyadari betapa cantiknya Nana. Rambutnya yang panjang berombak berwarna kemerahan , hidungnya yang mancung, kulitnya yang putih bersih, serta tinggi badannya yang di atas rata-rata perempuan Indonesia, membuatnya terlihat anggun dan berkelas. Kata ibu, Nana keturunan campuran Tionghoa, Belanda dan Indonesia.
Aku semakin kepincut pada Nana gara-gara sebuah kejadian yang membuatku terpana. Waktu itu aku baru pulang kuliah disuruh ibu ke rumah Nana untuk mengambil paket dari Bandung. Dengan mobil tua peninggalan ayah aku pun berangkat lagi. Sampai di rumahnya, Nana sendiri yang membukakan pintu. Sepertinya ia baru bangun tidur. Darah mudaku berdesir melihat busana Nana. Ia mengenakan kemeja laki-laki lengan panjang berwarna putih hingga sepinggul dan di bawahnya tidak pakai celana panjang atau rok. Kemejanya itulah yang juga berfungsi sebagai rok.
Ia mempersilakanku masuk dan duduk di ruang tamu. Di situ aku bisa melihat betapa mulusnya paha Nana. Selain itu, kemeja yang dikenakannya agak tipis sehingga samar-samar terlihat bra dan celana dalamnya yang juga berwarna putih. Hal itu membuatku gugup setiap kali menjawab pertanyaannya. Padahal biasanya aku banyak bercanda dan kadang jahil. Sesaat kemudian ia masuk ke kamarnya, kupikir akan ganti baju. Ternyata tidak. Ia keluar lagi sambil membawa kardus besar yang kelihatannya lumayan berat.
Spontan aku berlari menghampirinya dan mengambil alih kardus itu. Lagi-lagi aku berdebar saat tanganku bersentuhan dengan tangannya.
“Masih ada 2 lagi di kamar, Kris. Kamu ambil sendiri saja ya. Berat sih”, ujar Nana sambil tersenyum.
“Ya, Nana”, jawabku sambil berjalan menuju mobil.
Saat aku tengah mengangkuti paket-paket itu Nana keluar dari dapur sambil membawa minuman dingin dan meletakkannya di meja ruang tamu. Setelah semua paket berpindah ke dalam mobil, Nana menyuruhku minum.
Di rumah itu, Nana tinggal bersama anak semata wayangnya yang masih TK, seorang pembantu dan ibu Nana yang sudah renta yang biasa kupanggil Oma. Sehari-hari Oma duduk di kursi roda karena salah satu kakinya cacat akibat kecelakaan.
Sambil menghabiskan minum, kami ngobrol-ngobrol santai. Hanya saja aku tak bisa benar-benar santai setiap kali sudut mataku menatap paha mulus Nana yang duduk tepat di depanku. Sebelum pulang Nana titip pesan pada ibu kalau bulan depan akan mengajaknya ke Bandung lagi untuk”berburu” busana model baru.
Beberapa hari kemudian, Nana datang ke rumah kami. Ketika aku akan berangkat kuliah naik motor, tiba-tiba Nana datang tergopoh-gopoh memanggilku, disusul ibu di belakangnya. Ternyata ia mau nebeng aku pulang karena dapat kabar dari pembantunya kalau Oma sakit. Nana ke rumah kami naik taksi karena mobilnya dipinjam saudaranya. Tadinya aku mau ganti pakai mobil saja, tapi karena Nana terburu-buru, akhirnya ia kubonceng.
Sampai di rumahnya Nana bergegas masuk untuk menemui ibunya. Aku berinisiatif menunggunya karena siapa tahu ia butuh bantuan. Benar saja. Nana menelepon taksi dan begitu taksi datang ia meminta tolong padaku untuk membopong Oma ke taksi. Setelah itu ia bersama pembantunya masuk ke dalam taksi dan meluncur menuju ke rumah sakit. Aku membatalkan kuliahku dan mengikuti taksi yang ditumpangi Nana.
Ketika menunggu Oma diperiksa, Nana menemuiku dan bilang terima kasih padaku. Setelah itu aku mengantar pembantunya pulang karena harus menjemput Carla di sekolah. Beberapa hari kemudian Oma sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.
Satu bulan kemudian, karena anak-anak sekolah libur, akhirnya aku dan adik-adikku ikut menemani ibu, sementara Nana mengajak Carla serta. Kakakku dapat tugas jaga rumah. Kami berangkat naik kereta api. Di Bandung kami menginap di hotel langganan ibu dan Nana. Sayangnya kamar kami dan kamar Nana berjauhan. Kami dapat kamar di lantai 1, sedangkan Nana di lantai 2.
Hujan yang terus mengguyur membuat acara liburan kami, terutama adik-adikku yang baru pertama kali ke Bandung, jadi terganggu. Untuk acara belanja, hanya ibu dan Nana yang berangkat, sedangkan aku dan adik-adikku di hotel sambil mengasuh Carla. Barang-barang yang dibeli langsung dipaketkan dan dikirim ke alamat ibu atau Nana. Sore hari ibu dan Nana kembali ke hotel dan kami ngobrol bareng di kamar lantai 1 sampai acara makan malam tiba. Selesai makan Carla tak mau diajak mamanya ke kamarnya, tapi ingin bermain-main dulu dengan adik-adikku. Kamar kami kembali hingar-bingar dengan celoteh bocah-bocah itu.
Nana baru meninggalkan kamar kami setelah Carla tertidur. Aku pun kebagian tugas membopong Carla yang tidur pulas dan membawanya ke kamar Nana di lantai 2, sementara Nana membawa perlengkapan Carla. Sampai di kamar kurebahkan Carla di ranjang. Saat itu tiba-tiba Nana nyeletuk sambil tersenyum,
“Kamu kuat juga ya, Kris.
Dulu Oma kamu gendong, sekarang Carla. Kapan giliran Nana nih?!” Ditantang seperti itu spontan aku bereaksi menggodanya.
“Ayo kalau Nana mau, kugendong juga”, kataku sambil mendekatinya lalu sekonyong-konyong menggendongnya.
Nana memekik kaget melihat spontanitasku, lalu tertawa. Ia pun spontan menggelayutkan satu tangannya ke bahuku.
“Sudah, sudah, turunin aku, Kris,” pintanya.
Aku tak mempedulikan permintaannya. Tetap saja ia kugendong dan berjalan-jalan di antara ranjang dan cermin.
“Makanya jangan sembarangan nantang orang, Nana”, kataku.
Kuhentikan langkahku di depan cermin.
“Lihat, Nana. Aku seperti Superman menggendong Lois Lane ‘kan?” celetukku sambil melihat ke cermin.
Entah sadar atau tidak, Nana kemudian menggelayutkan satu tangannya lagi, memelukku. Mula-mula ia juga melihat ke cermin, lalu menoleh ke arahku. Saat itulah wajah kami begitu dekatnya hingga dapat kuhirup nafasnya yang segar. Karena dada kami saling menempel bisa kurasakan degup jantung Nana.
Begitu pun aku, dan pasti Nana juga bisa merasakannya. Yang semula kami sama-sama tertawa tiba-tiba saling diam. Kutatap wajah Nana dalam-dalam dan kulihat mata Nana bergantian menatap bibir dan mataku. Pelan-pelan kuturunkan Nana karena lenganku sudah terasa capek, tapi mataku terus menatap wajah cantiknya dan ia balas memandangiku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan dalam kata-kata. Suasananya terasa sangat canggung. Mungkin aku sempat salah tingkah waktu itu.
Ketika Nana bersingsut mundur dan membalikkan badannya, kutahan lengannya. Spontan Nana kembali berbalik menghadapku dan kami saling berpandangan lagi. Saat itulah tiba-tiba Nana merengkuh bagian belakang leherku dan menciumku. Aku terhenyak hingga membuat Nana menghentikan ciumannya. Ia mengira aku tak suka dengan perbuatannya.
“Maaf ya, Kris” kata Nana lirih.
Saat ia menunduk, kuraih dagunya dan kupagut bibirnya. Terus terang jam terbangku untuk hal seperti ini masih nol, tapi aku belajar dari adegan-adegan ciuman di film-film yang pernah kutonton. Setelah beberapa kali pagutan, akhirnya Nana mengimbangi ciumanku. Kedua tangannya dilingkarkan di bahuku. Berkali-kali kami saling memagut, mengecup, menghisap dan memainkan lidah kami.
Aku yang sudah terbakar api birahi mulai berani menjamah tubuh Nana. Kujelajahi lekuk liku tubuhnya dengan kedua tanganku. Sesekali kulayangkan ciumanku di leher Nana sehingga membuatnya mendesah. Nafas kami memburu. Tanganku semakin liar bergerak. Kulepas kancing celana jins Nana lalu kuturunkan resletingnya. Setelah itu kususupkan jemariku ke dalamnya hingga bisa kurasakan lembutnya bagian bawah tubuh Nana.
Kemudia ia memelorotkan dan melepas sendiri celana panjangnya hingga jemariku makin leluasa bergerilya. Kurasakan basah di sana. Saat tanganku beralih membuka kancing baju Nana satu persatu, ganti ia yang melucuti celana panjangku. Jari-jemari lentiknya meraba dan meremas “milikku” yang sudah mengeras di balik celana dalamku. Desahan Nana makin intens ketika mulut dan lidahku menjalari dan menghisap kedua bukit indah di dadanya setelah kutanggalkan bra-nya.
Tiba-tiba Nana berlutut di hadapanku, melepas celana dalamku dan langsung menyergap “milikku”. Saat ia melakukan itu, kulepas T-shirtku hingga aku telanjang bulat. Aku menikmati adegan itu melalui cermin besar di hadapanku seakan melihat adegan film. Rasanya sulit bagiku mempercayai kalau itu nyata. Beberapa saat kemudian Nana kembali berdiri lalu beringsut dan mendudukkan dirinya di meja di depan cermin. Sebelum ia duduk di meja itu, kutanggalkan celana dalam Nana yang berwarna hitam, senada dengan warna bra-nya.
Aku begitu terpesona melihat “miliknya” yang merona merah muda dengan bulu-bulu halus berwarna kemerahan di sekitarnya. Aku berniat untuk “mencicipinya” dengan lidahku, tapi buru-buru dicegah Nana.
“Sudah basah banget, Kris,” katanya.
“Sedikit saja, Nana”, pintaku.
Tanpa menunggu persetujuan dari Nana, mulutku langsung menyergap “miliknya”. Mula-mula dengan mengecupnya, lalu mulai memainkan lidahku. Sejak awal kami berciuman tadi aku sudah berniat untuk melakukan semuanya karena mungkin tak akan ada kesempatan kedua.
Nana melenguh dan mendesah lirih saat aku makin ganas mencumbui bagian bawah tubuhnya. Kedua tangannya meremas kuat-kuat rambutku. Lama-lama kulihat pinggung Nana bergoyang mengikuti irama jilatanku. Tak lama kemudian kudengar pekikan kecil Nana. Ia pun menarikku agar berdiri.
Kami kembali berpelukan dan saling memagut. Kemudian Nana merengkuh pantatku dan menariknya, sementara ia membuka kedua kakinya lebar-lebar. Masih sambil berciuman, tangan Nana membimbing “milikku” masuk ke “miliknya”. Kurasakan hangat dan basah saat itu. Nana memekik lirih, disusul dengan desahannya yang “merangsang”. Untuk sesaat kubiarkan “milikku” berada di dalam “milik” Nana dan sibuk mencumbuinya. Rupanya Nana tak tahan lagi. Ia kembali merengkuh pantatku dan menggerak-gerakkannya maju mundur.
“Ayo, Kris …”, katanya sambil menatapku dengan mata sayu.
Aku pun mulai “memompa”. Kenikmatan yang tak terlukiskan dengan kata-kata menjalar di setiap pori-pori tubuhku. Ini adalah pengalaman pertamaku dan aku tak ingin cepat-cepat selesai. Tapi nafsu yang sudah memuncak membuatku tak bisa menahan diri.
Gerakanku semakin cepat. Nana menggelinjang, menggeliat sambil kedua tangannya erat memeluk punggungku. Kepalanya kadang tengadah, kadang menghadapku sambil memagut bibirku.
Tiba-tiba ia merapatkan pelukannya dan aku merasakan gigitan di bahuku. Nana melenguh panjang, dan aku makin cepat “memompanya”, hingga terasa ada sesuatu yang memberontak ingin keluar. Begitu keluar, kusiramkan cairan hangatku di perut Nana. Ganti aku yang melenguh saat itu terjadi. Nana tak melepaskan pelukannya. Kedua kakinya rapat melingkar di pinggangku. Nafas kami sama-sama memburu.
Saat nafas kami mereda, Nana pelan-pelan melepaskan pelukannya.
“Terima kasih, sayang …”, bisik Nana sembari mengecup bibirku.
“Sebaiknya kamu balik ke kamar sekarang. Nanti ibunya nyari-nyari”, lanjutnya. Sebenarnya berat bagiku meninggalkannya karena tak ingin cepat-cepat kehilangan momentum paling berkesan dalam hidupku itu, tapi Nana benar. Ibu pasti akan bertanya-tanya kenapa aku lama sekali. Kukenakan kembali T-shirt dan celanaku dan berjalan ke pintu. Nana mengikuti langkahku dan ketika aku hendak pamit, Nana sekali lagi mendaratkan ciumannya di bibirku lalu berkata,
“Terima kasih ya, Kris”. Sambil membuka pintu kucandai ia,
“Lho, tadi ‘kan sudah, Nana?”. Nana tersenyum sambil mencubit lenganku.
Sambil jalan menuruni tangga aku menyiapkan alasan andai ibu bertanya. Tapi sampai di kamar, ibu dan kedua adikku sudah tertidur lelap. Usai buang air kecil kurebahkan tubuhku di kasur tambahan yang digelar di lantai. Sayangnya aku tidak bisa langsung terpejam. Bayang-bayang tubuh telanjang Nana dan adegan percintaanku dengannya tadi terus saja menggelayut di pikiranku. Rasanya aku tak menyangka bahwa akhirnya terjadi “sesuatu” antara aku dan Nana, perempuan yang kukenal sejak aku SMP. Aku tak merasa rugi ia telah merenggut keperjakaanku. Justru aku merasa beruntung bisa “menikmati” tubuh indah Nana yang begitu sempurna.
Esok paginya ibu bertanya kepadaku, kenapa aku lama sekali. Untung aku sudah menyiapkan jawaban. Kukatakan kalau usai mengantar Carla dan Nana aku jalan-jalan ke luar hotel, menikmati suasana Bandung di waktu malam.
Setelah mandi dan sarapan, kami berkesempatan jalan-jalan keliling kota Bandung dengan mobil sewaan karena cuaca cerah. Setelah itu meluncur ke Lembang. Tengah hari, usai makan siang di Lembang, kami bermaksud untuk ke Cibaduyut atas permintaan Nana. Tapi dalam perjalanan, adik perempuanku yang duduk di bangku SMP panas badannya. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Sampai di hotel, Nana bermaksud pergi sendiri ke Cibaduyut dengan membawa serta Carla. Ibu menyuruhku untuk menemani Nana, sementara ia tinggal di hotel bersama kedua adikku. Aku pun naik taksi bersama Nana dan Carla.
Selama mencari-cari sepatu, aku bergantian dengan Nana menggendong Carla. Nana memborong 6 pasang sepatu. Tiga untuknya dan masing-masing satu untuk ibu dan dua adikku. Nana menawariku juga, tapi aku menolak. Kukatakan kalau sepatuku masih bagus.
Dalam perjalanan kembali ke hotel Carla tertidur di taksi, hingga aku harus membopongnya ke kamar. Sambil menggendong, jantung berdetak kencang karena mengharapkan akan mendapat kesempatan lagi untuk bercumbu dengan Nana. Tampaknya Nana pun berharap demikian. Saat kubaringkan Carla di ranjang, Nana langsung masuk ke kamar mandi. Aku pura-pura sibuk melepas sepatu Carla lalu menyelimutinya untuk mengulur waktu sampai Nana keluar dari kamar mandi. Aku masih pura-pura sibuk saat kudengar pintu kamar mandi terbuka.
Begitu kutolehkan wajahku, kulihat Nana sudah ganti baju. Ia mengenakan daster tank top mini bermotif bunga-bunga dengan bagian dada terbuka, hingga menampakkan belahan dadanya yang menantang. Aku terpaku di tempatku menatap Nana. Ia seakan tak mempedulikan aku yang melongo melihat penampilannya yang menggoda. Ia sibuk menggantungkan baju dan celana yang tadi ia kenakan di gantungan baju yang ada di dinding depan kamar mandi. Aku yang sudah terbakar api birahi langsung mendekatinya dan mendekapnya dari belakang.
Kusibak rambut Nana lalu kucumbui lehernya yang putih jenjang. Aroma parfumnya makin menggelorakan nafsuku. Tak kupedulikan Nana yang masih asyik menggantungkan baju. Sambil mencumbui, tanganku menjalari sekujur tubuhnya dengan rute dari bawah ke atas. Setelah itu kubuka dasternya dengan tangan gemetar akibat nafsu yang makin bergejolak. Kudaratkan ciumanku bertubi-tubi ke setiap bagian tubuhnya. Tak terkecuali pantatnya yang ranum.
Dengan balutan gairah yang menggebu-gebu kulepas T-shirt, celana jins dan celana dalamku. Begitu Nana selesai dengan kegiatannya, aku sudah telanjang bulat, sama sepertinya. Ia berbalik menghadapku dan kami saling berpagutan dengan liarnya.
“Sebentar, Kris”, kata Nana dengan nafas tersengal-sengal.
Ia mengambil selimut tebal di ranjang, menggelarnya di lantai, lalu berbaring di situ. Aku pun langsung menerkamnya. Yang kutuju pertama kali adalah bagian bawah tubuhnya, karena kemarin malam aku belum puas melakukannya. Kali ini Nana memberi kesempatan kepadaku untuk memuaskan hasratku.
Ia menggelinjang, melenguh dan mendesah, seakan mengisyaratkan kalau ia suka kujelajahi bagian bawah tubuhnya dengan mulut dan lidahku. Tak puas hanya dengan mulut dan lidah, jariku pun akhirnya ambil peranan. Hal ini membuat gerakan tubuh Nana makin menggila hingga akhirnya ia mengejang dengan pinggul terangkat disertai erangan yang terdengar sangat erotis. Ia menjambak kuat-kuat rambutku dan menahannya agar aku berhenti. Tampaknya Nana telah mencapai orgasme.
Sesaat kemudian Nana memintaku untuk rebah. Begitu kubaringkan tubuhku, gantian Nana yang “mengerjai milikku” dengan sangat bernafsu. Nikmat yang tak terperikan membuat “milikku” hampir “meletup”. Aku berusaha menahannya selama mungkin agar nikmatnya tak segera usai. Tapi hisapan dan kuluman Nana membuat pertahananku bobol.
“Aku mau keluar, Nana”, kataku dengan nafas memburu. Nana menghentikan kulumannya dan mulai “mengocokku”. Aku mengerang panjang manakala cairan hangatku menyemprot. Nana mengarahkan semprotanku ke kedua “bukitnya” sambil terus mengocok.
Begitu tak ada lagi cairan yang keluar, mengulum lagi “milikku” dengan lembut. Beberapa saat kemudian ia membaringkan tubuhnya di sampingku sambil mengusap-usap dadanya yang basah oleh cairanku hingga merata. Kupandangi ia dan tiba-tiba ia menjilati jarinya.
“Enak juga ya”, katanya sambil tersenyum. Ia kemudian bangkit dan masuk ke kamar mandi.
Sekitar 30 menit kami ngobrol sambil berbaring sampai akhirnya birahiku bangkit lagi. Kami kembali berpacu dalam birahi. Ronde kedua ini aku mampu bertahan cukup lama hingga kami bisa melakukannya dalam berbagai gaya. Mula-mula “69”, lalu aku dan Nana bergantian yang di atas. Setelah itu ber”doggy style” sebelum kemudian aku “menusuknya” dari belakang sambil berbaring. Terakhir aku di atas lagi sampai kami sama-sama mencapai klimaks.
Saat menggelepar kelelahan, terdengar suara Carla. kami buru-buru meraih baju yang berserakan di lantai. Untungnya, begitu aku berpakaian lengkap dan Nana mengenakan kembali kemejanya, Carla terbangun.
“Wah, pas ya, Nana”, celetukku.
Nana tertawa renyah dan langsung menghampiri Carla. Aku kembali ke kamarku sambil menjinjing tas berisi 3 pasang sepatu, seolah-olah baru saja pulang belanja.
Dari kejadian di Bandung itulah hubunganku dengan Nana berlanjut. Setiap ada kesempatan selalu kami gunakan untuk bergumul di ranjang rumah Nana. Kesempatan makin terbuka lebar ketika kemudian ibu menyewa sebuah ruko untuk usahanya, karena di rumah sudah tidak memadai lagi. Aku ditugasi untuk menjaga ruko itu. Aku menempati ruang di lantai 2 untuk tempat tinggalku yang baru, sementara lantai 1 untuk butik.
Di lantai 2 itulah aku dan Nana kadang “berjibaku” menyalurkan kebutuhan biologis kami. Meski begitu kami tidak bisa sering-sering melakukannya, karena aku dan Nana sepakat untuk menjaga rahasia ini sebaik mungkin. Intinya jangan sampai ada seorang pun yang tahu.
Aku sudah benar-benar terpikat pada Nana. Cewek teman kuliahku yang kutaksir, sebut saja namanya Fenty, kuabaikan. Aku sudah mendapatkan segalanya dari Nana. Cantik, seksi, dan hot di ranjang. Kami sudah seperti suami istri tapi tanpa status. Tak hanya itu. Hal-hal kecil yang ditunjukkan Nana padaku sungguh membuat sulit untuk tidak mengingatnya. Seperti misalnya waktu kami mempersiapkan acara ulang tahun Carla. Nana membuat sendiri desain undangannya dan aku diminta membantunya.
Di ruang tamu rumahnya, aku duduk di lantai sambil memotongi undangan berbentuk Minnie Mouse, sementara Nana duduk di kursi tepat di depanku melakukan hal yang sama. Carla asyik sendiri bermain-main di dekat kami. Nana mengenakan daster mini,sehingga aku bisa mengintipnya. Ia bukannya tak menyadari hal itu, karena ia senyum-senyum melihat tingkahku. Justru sesekali ia makin membuka kedua kakinya saat melihat kedua mataku menatap bagian bawah tubuhnya yang ditutup celana dalam putih.
Kemudian aku berpura-pura mendekati Nana dan berbisik di telinganya agar ia melepasnya. Begitu aku kembali duduk di lantai, Nana langsung masuk ke kamarnya dan tak lama kemudian keluar lagi dan kembali ke tempat ia duduk semula. Ia sengaja mengangkang sedikit hingga aku bisa melihat kalau ia sudah tak pakai celana dalam. Mau tak mau, gairahku makin meletup-letup. Ingin rasanya kususupkan kepalaku ke sana. Kurasakan celana jins yang kukenakan jadi terasa menyiksa akibat dorongan kelelakianku yang mengeras.
“Tegang, ya?” tanya Nana sambil tersenyum nakal ketika melihatku beringsut membenahi “senjataku” agar terasa nyaman.
“Iya, nih. Jadi kepengen ..”, jawabku meringis.
“Habis, gimana dong?” Nana menimpali sambil melirik Carla.
Memang meski ada Carla di situ tak menghalangi kami berdialog dengan topik “menjurus” karena si kecil itu pastilah tak mengerti maksud pembicaraan kami. Tapi hanya sebatas itu saja.
Pernah juga, waktu kami pulang mengantar Oma kontrol ke rumah sakit, pulangnya kami sudah berencana untuk “melepas dahaga”. Tapi begitu sampai rumah, Oma ingin nonton TV yang ada di sebelah ruang tamu dekat kamar Nana. Padahal aku sudah membayangkan, setelah mengantar Oma ke kamarnya yang ada di belakang, aku bisa menggumuli Nana. Nana tampaknya juga kecewa rencana kami gagal. Tapi ia masih bisa menghiburku dengan caranya sendiri. Ia berganti pakaian tanpa menutup kamarnya, sehingga aku bisa melihat tubuh indahnya dari ruang tamu. Nana kemudian mengenakan daster sexy tanpa bra.
Kami sempat ngobrol untuk mengulur waktu dengan harapan Oma minta diantar ke kamarnya. Harapan kami sirna karena Oma tampak keasyikan nonton TV. Untungnya Oma membelakangi kami, sehingga aku dan Nana masih sempat berpagutan, bahkan kuciumi dada Nana sambil tanganku merogoh di bagian bawah tubuhnya, sebelum aku memutuskan untuk pulang, karena sebentar lagi Carla datang.
Pertemuanku dengan Nana agak merenggang ketika aku KKN selama 1 bulan, disusul kemudian skripsiku. Lalu, satu hari menjelang sidang skripsi, Oma meninggal dunia. Ia dimakamkan di Belanda. Dalam masa kevakuman hubunganku dengan Nana, aku tergoda lagi pada Fenty. Penyebabnya karena ia satu lokasi KKN denganku. Padahal waktu itu aku hanya iseng-iseng saja mendekatinya. Sesekali aku mengantarnya jika ia ingin kembali ke kota. Agaknya keisenganku dianggap serius oleh Fenty. Ini adalah sebuah kebodohanku dan menjadi awal dari berakhirnya hubunganku dengan Nana.
Karena sudah sering mengecap nikmatnya hubungan seks, hubunganku dengan Fenty pun akhirnya sampai ke situ juga. Waktu itu malam hari, kuajak ia ke ruko butik ibu. Setelah itu kuajak ia ke kamarku di lantai 2. Fenty yang sudah benar-benar jatuh cinta padaku menyerahkan “mahkota berharganya” padaku malam itu. Sejak itulah kami melakoni gaya pacaran yang kebablasan, hingga kemudian terjadi hak yang tak pernah kuperhitungkan sebelumnya. Fenty hamil! Aku kelabakan dibuatnya. Kakakku marah besar. Aku nyaris ditamparnya andai tak dicegah ibu. Wajar kalau kakakku marah, karena ia sudah merencanakan akan menikah.
Rencananya terpaksa diundur gara-gara aku. Aku malu sekali. Tak hanya malu pada keluarga besarku, tapi juga pada Nana yang selama ini telah menganggapku sebagai kekasihnya. Orang tua Fenty mendesakku untuk menikahi anaknya. Memang pada akhirnya aku menikahi Fenty. Hanya saja rasa bersalahku pada Nana terus menghantuiku. Betapa tidak. Ia barus saja kehilangan ibunya dan sepulang dari Belanda mendapati kabar kalau aku akan menikah.
Tapi aku salut padanya. Nana masih bisa menunjukkan kebesaran hatinya dengan mengatakan kalau ia senang akhirnya aku mendapatkan jodohku. Katanya, ia sudah merasa bahwa suatu saat hubungan kami akan berakhir karena keadaan yang tak memungkinkan, hanya saja ia tak mengira akan secepat ini. Lebih lanjut Nana mengungkapkan, betapa ingin ia menikah denganku, tapi ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya itu karena adanya jurang ketidakmungkinan di antara kami.
Dulu, ketika kami usai bercinta di ruko yang kutinggali, aku sempat menanyakan kenapa ia tidak menikah lagi. Padahal kalau ia mau, ia bisa mendapatkan yang jauh lebih baik dariku. Katanya, ia sudah bersumpah di makam suaminya kalau ia tidak akan menikah lagi dan akan berusaha sekuat tenaga untuk membesarkan Carla seorang diri. Tapi kehadiranku dalam hidupnya membuatnya gamang pada sumpahnya. Saat melihatku tumbuh dewasa, tiba-tiba saja ia merasakan getaran setiap kali bertemu denganku. Ia seakan menemukan kembali kebahagiaan saat menjalani momen-momen indah bersamaku dan berharap terjadi suatu keajaiban yang membuat kami bersatu.
Aku selalu dihinggapi penyesalan telah mengkhianati harapannya. Pengalaman bersama Nana seolah membuatku sombong. Kupikir, jika aku bisa menaklukkan hati Nana, aku pasti juga akan bisa menaklukkan perempuan lain. Dan Fenty adalah korban kesombonganku, meski sebenarnya ada sepercik cinta padanya.
Yah, nasi sudah jadi bubur. Aku menikah dengan Fenty dan setelah lulus kuliah kami tinggal di rumah orang tua Fenty di kota lain. Meski begitu aku terus memantau keberadaan Nana melalui ibu. Tentunya dengan cara halus agar ibu tidak curiga kenapa aku selalu menanyakan Nana. Menurut informasi dari ibu, hubungannya dengan Nana tetap berjalan baik. Aku lega mendengarnya. Aku khawatir, gara-gara aku Nana menjauhi ibu. Untung itu tidak terjadi.
Kadang aku masih diselimuti rasa bersalah saat bertemu Nana tiap kali aku pulang ke rumah ibu. Ingin rasanya aku mengajaknya pergi berdua saja untuk menyampaikan rasa penyesalanku. Sayang kesempatan itu tak pernah ada. Apalagi aku sudah tidak berkiprah lagi di butik ibu, karena peranku sudah digantikan oleh adik perempuanku yang sudah beranjak dewasa.
Saat ini anakku sudah 2 dan aku hidup bahagia bersama Fenty dan kedua anakku, tapi kenangan manis bersama Nana tak akan pernah bisa kulupakan. Terlebih setelah pertemuan dengannya di pemakaman ibu beberapa waktu lalu.
0 Response to "PetikPisang69 - AKU DENGAN NANA YANG MANIAK"
Post a Comment